Jumat, 27 Februari 2009

CINTA ALBINO

Sejak kecil aku merasa diasingkan oleh teman-temanku. Mereka tidak mau berteman denganku, berjalan bersamaku dan yang lebih menyakitkan lagi saat wanita yang aku cintai dan aku sayangi menghinaku habis-habisan dan enggan berpacaran denganku. Aku masih ingat hingga saat ini kata-kata pedasnya yang sangat menyakitkan
“Pergi kau! Pergi dan jauhi diriku setan putih! Dasar kau setan salju!” Teriak wanita itu.
Memang kejadian itu sudah lama, saat aku berada di kelas satu SMP. Dan sekarang aku sudah berkuliah disalah satu perguruan tinggi di Bandung. Dan keadaan pun sama saja seperti saat aku berada dibangku sekolahan . Jarang sekali orang-orang yang mau berteman denganku.
Aku bukanlah lelaki kuat yang dapat melindungi wanita yang kucinta dan kusayangi dari kejamnya dunia ini. Aku bukan lelaki romantis yang dapat membawakan bunga-bunga indah berwarna-warni untuk menghiasi hati wanita yang aku cintai agar terlihat lebih cantik, indah dan menakjubkan. Aku bukanlah lelaki hebat yang dapat membawakan berjuta-juta keinginan yang diharapkan kekasihku. Aku rasa, aku bukanlah apa-apa. Tapi aku adalah seorang lelaki yang mempunyai perasaan cinta, sayang, ingin disayangi, dicintai dan juga dihargai.
Kulitku putih, hampir sama dengan warna salju dan kadang teman-temanku suka mengatakan, “Aldi, kulitmu putih dicat ya? Kau mau menyaingi putihnya tembok rumahmu?” lalu mereka pun tertawa. Bukan hanya kulitku saja yang putih, tapi rambutku, alis mata beserta bulu mataku, kumisku, dan bulu-bulu ditangan dan kakiku terlihat agak berwarna kuning dan begitu pun bulu-bulu yang lainnya. Pastilah bukan berwarna hitam. Itulah yang membedakanku diantara yang lainnya.
Pernah saat aku jalan-jalan sendirian di sebuah pusat perbelanjaan. Ada seorang ibu-ibu bersama anaknya yang masih kecil sekitar empat tahunan bertanya kepadaku dengan memakai bahasa inggris. Ibu itu sepertinya keturunan orang cina, matanya sipit, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam lurus pendek, dan tinggi semampai. Ibu itu menanyakan sebuah jalan kepada saya, dan sesudah saya beritahu dan menjelaskan kepadanya mengenai jalan yang ditanyakannya, ia betanya kembali kepada saya
“Anda orang mana? Dari Negara mana?” Tanyanya.
Mungkin dia pikir, saya ini orang bule. Mentang-mentang kulit saya putih. Ya sudah saja, saya langsung menjelaskan kepadanya bahwa saya adalah orang Indonesia asli dan bahwa saya adalah seorang albino, sehingga kulit saya putih seperti halnya orang-orang bule. Ya…begitulah kehidupanku, saat aku berjalan sendirian banyak orang-orang yang memandangiku dan menatapku dengan berbagai macam ekspresi. Sampai-sampai ada seorang gadis remaja memakai seragam SMA, ia terus menatapku sampai akhirnya ia menabrak kaca salah satu toko. Ya…mungkin aku sangat menarik baginya.
Aku pikir, aku tidak akan menemukan seorang wanita yang dapat mencintaiku sepenuh hatinya. Akan tetapi, suatu hari saat aku sedang duduk sendirian di taman yang berada dikampusku, tiba-tiba datang seorang wanita menghampiriku. Ia mengajakku berkenalan dan lalu ia pun berbincang-bincang denganku. Ia sangat cerewet dan banyak sekali topik yang dibahasnya bersamaku dan sempat ia pun bertanya kepadaku mengenai penyakit albino. Dia adalah wanita yang baik, ramah, cerewet, dewasa dan pengertian. Ia selalu mendengarkan dengan baik apa yang aku jelaskan padanya tentang penyakitku atau pun saat aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Tingginya sekitar 155 cm, kulitnya sawo matang,rambutnya hitam panjang dan sedikit bergelombang. Intinya ia sangat manis sekali. Akan tetapi sayangnya, ia berbeda jurusan denganku. Ia mengambil jurusan bahasa Perancis, sedangkan aku mengambil kedokteran walau pun aku tidak tahu apakah aku bisa menjalaninya atau tidak. Karena jujur, aku lebih berminat pada kesenian khususnya pada seni lukis, tapi orang tuaku memintaku untuk masuk kedokteran. Yang aku takutkan bila aku menjadi seorang dokter, aku takut pasien yang aku tangani tidak sembuh-sembuh karena dokternya adalah seorang hantu putih yang bisa mengobati. Apalagi bila pasiennya seorang anak kecil, pasti ia berteriak-teriak saat melihatku.
Tidak terasa sudah satu bulan aku berteman dengannya. Parisa, begitulah namanya. Jujur aku merasa sangat tenang, nyaman dan bahagia saat berada didekatnya. Tapi aku juga merasa sangat takut. Takut saat dimana aku mulai mencintainya dan ingin memilikinya, tapi ternyata aku tidak bisa hidup bersamanya. Setiap malam, aku selalu merenungkan perasaanku ini terhadapnya. Tapi apa dayaku, aku bukanlah lelaki yng diidamkannya, dan aku tidak pantas menjadi seseorang yang spesial dihatinya.
Aku selalu menyempatkan waktuku untuk bertemu dengannya dan menghabiskan waktuku bersamanya. Sampai saat ini, Parisa pun masih menyendiri. Ia baru saja putus dengan kekasihnya beberapa bulan yang lalu. Ia adalah wanita yang periang, betapa pun banyaknya masalah yang sedang dihadapinya ia masih mencoba untuk tersenyum. Dan itulah yang sangat kusukai darinya. Karena dia, aku lebih bersemangat dalam menjalani hidupku.
Tiga bulan sudah aku berhubungan dengannya sebagai teman. Aku semakin tidak bisa menahan rasa cintaku ini padanya yang sudah membakar tubuhku ini sampai ke akar-akarnya. Perhatian yang selama ini ia berikan padaku, semakin menguatkanku kalau ia sedikitnya mempunyai perasaan terhadapku.
Saat minggu tiba, aku mengajak Parisa untuk mengunjungi rumahku. Sesampainya dirumahku, aku memperkenalkannya pada orang tuaku. Aku senang sekali karena kedua orang tuaku menerima Parisa dengan hangat, walau pun aku tahu dihati mereka tersimpan rasa takut kecewa yang mendalam pada Parisa. Setelah itu, aku mengajaknya melihat ruangan pribadiku. Ruangan yang dimana sebagai tempat untuk menenangkan pikiranku dan tempatku untuk menuangkan segala isi pikiran dan hatiku menjadi sebuah lukisan.
“Aldi, aku tak menyangka ternyata kau pintar sekali melukis.” Puji Parisa. Lalu ia pun melihat-lihat semua hasil lukisan Aldi yang dipajang diruangan tesebut.
“Aldi, wanita yang kau lukis ini siapa?” Tanya Parisa yang tertarik terhadap salah satu lukisan Aldi. Dilihatnya lukisan seorang wanita setengah badan. Rambutnya hitam panjang dikucir dua dengan memakai pita berwarna pink sedang tersenyum. “Ini adikmu?” Tanyanya lagi
“Bukan, itu….” Aldi terdiam tak mampu meneruskan kata-katanya
“Siapa?” Desak Parisa
“Dia cinta pertamaku. Tapi sayangnya cintaku bertepuk sebelah tangan. Ia sangat baik kepada semua orang tapi tidak kepadaku. Mungkin baginya diriku ini sangat menakutkan. Aku suka sekali terhadap senyuman dan tawanya. Ia terlihat sangat cantik dan manis sekali.” Jelas Aldi
Setengah jam kemudian, aku mengajak Parisa melihat-lihat kebun yang berada dibelakang rumahku. Dan kami berdua pun melanjutkan pembicaraan kami disana.
Jantungku berdegup sangat kencang dan keringat dingin pun mulai bermunculan. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana untuk menyatakan perasaanku ini padanya. Tapi aku tidak mau untuk terus menjadi lelaki pengecut. Aku harus menyatakan perasaanku ini padanya, walau pun jawabannya menyakitkan.
“Paris, apakah ada wanita yang akan mencintaiku sepenuh hatinya?”
“Pasti akan ada. Memangnya kenapa?”
Aldi pun terdiam sejenak. “A…aku takut. Aku takut bila tak ada wanita yang menyukaiku apa adanya. Kamu tahu, banyak wanita yang berteriak saat aku berada dekat dengannya. Ya…mungkin aku sangat menyeramkan.”
Tiba-tiba Parisa tertawa. “Menyeramkan? Bagiku kau sangat lucu. Jarang ada orang sepertimu. Kulitmu putih seperti putri salju, atau mungkin kau adalah pangeran saljunya?” Ucap Parisa lalu tertawa lagi. “Aldi, apa yang tidak mungkin bisa saja menjadi mungkin. Maka dari itu kau tak boleh berhenti berharap dan berusaha untuk mendapatkan apa yang kau mau.”
“Iya. Kalau hal yang tidak mungkin bisa saja menjadi mungkin, berarti…menurutmu mungkin tidak kalau aku menyukaimu?”
Parisa pun terdiam sejenak karena terkejut mendengar perkataan Aldi. “Maksudmu?”
“Aku ingin kau menjadi kekasihku dan apabila mungkin, aku ingin kau menjadi pertama dan terakhir untukku.”
Suasana pun menjadi hening. Mereka berdua saling bertatapan. Dan tiba-tiba Parisa pun tertawa terbahak-bahak
“Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?” Tanya Aldi dengan perasaan kecewa atas perilaku Parisa yang menertawakan dirinya.
“Maaf, ekspresimu sangat lucu.”Jawabnya. “Aku tidak menyangka kalau kau akan mengatakn suka kepadaku.”Ucapnya
“Ya…tidak usah dijawab sekarang, kau punya waktu untuk memikirkannya.” Jelas Aldi
Saat mereka kembali kedalam rumah dan melewati ruangan pribadi Aldi, tiba-tiba Parisa menghentikan langkahnya.
“Ada apa?”Tanya Aldi
“Kenapa kau bisa menyukaiku?”
“Kenapa? Karena darimulah aku mendapatkan suatu pelajaran yang sangat penting. Sifat periangmu dan keceriaanmu diatas masalah-masalahmu yang membuatmu tetap semangat menghadapi segala masalahmu. Itulah yang membuatku jatuh cinta kepadamu. Dan kau, kau kini tak lain adalah nyawaku. Aku kembali bersemangat dalam menjalani hidupku yang hampa, tak lain karenamu.”
“Terimakasih. Kalau begitu, aku ingin kau melukis diriku sebagus mungkin, lebih bagus dari cinta pertamamu.” Ucap Parisa dengan tegas.
“Baiklah, sekarang kau harus menjadi modelku dan akan kulukis sekarang.”
“Aku tidak mau menjadi modelmu. Aku ingin berada didalam ingatanmu dan lalu kau lukis, dan besok harus sudah selesai. Temui aku besok pukul empat sore di taman kampus.”
Keesokannya, aku membawa hasil karyaku ini yang aku buat semalaman tanpa tidur. Pukul empat sore aku menemui Parisa ditaman kampus.
Hari ini keadaan kampus sangat sepi, sehingga hanya ada beberapa orang yang berada ditaman kampus termasuk Parisa dan aku.
“Selamat sore tuan putri, ini lukisannya sudah selesai dan….jangan lupa bayarannya.”Ucapku lalu memberikan senyuman terindahku padanya
Parisa pun membuka perlahan-lahan bungkusan lukisannya. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat lukisan tersebut. Dilihatnya lukisan tersebut bergambar dirinya yang sedang duduk ditaman itu dengan tersenyum serta rambut indahnya yang tergerai ditiup angin, sungguh membuat Parisa terlihat sangat cantik
“Terimakasih atas lukisannya. Lalu bayarannya adalah….kau harus menjagaku, menyayangiku dan mencintaiku dengan sepenuh hatimu, sebagaimana aku mencintaimu apa adanya.”
Aldi tercengang atas ucapan Parisa tersebut. “Maksudku, aku sangat bersedia untuk menjadi kekasihmu.” Ucap Parisa kembali
“Benarkah itu? Ya Tuhan, terimakasih…..” Ucap Aldi dengan bahagia.

Aku dan Parisa menjalani hubungan dengan penuh rasa kasih sayang. Walau pun bila ada masalah diantara kita berdua, kita selalu berhasil menghadapi dan menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Banyak sekali kenangan-kenangan indah bersamanya. Bagiku kebersamaan yang aku lewati dengannya adalah suatu hal yang sangat istimewa dan tak akan pernah aku lupakan. Dan aku sangat bahagia bisa memilikinya.
Akhirnya satu tahun sudah aku berhubungan dengannya. Parisa pun memberanikan dirinya untuk mengenalkanku pada orang tuanya.
Tentu aku merasa gugup dan takut. Aku takut sekali, kalau-kalau orang tuanya tidak mau nmenerimaku dan merestui hubungan kami berdua. Benar-benar persiapan mentalku harus sangat matang, aku sudah bisa menebak bahwa orang tuanya pasti tidak menyetujui anaknya untuk menikah denganku.
Dan ternyata benar dugaanku. Saat aku datang kerumahnya, singkatnya saat Parisa memperkenalkanku bahwa aku adalah kekasihnya, mamahnya sangat terkejut dan langsung melontarkan kata-kata pedas kepadaku.
“Aku tidak akan menyetujui anakku berhubungan dengan laki-laki yang mengidap penyakit albino. Bagaimana nanti dengan keturunannya? Pasti akan persis seperti ayahnya. Tidak! Saya tidak menyetujui anak saya untuk menikah dengan kamu!” Ucap mamahnya Parisa sangat marah sekali. Begitu pula dengan ayahnya, ia tidak merestui hubungan kami berdua.
Perkataan ibunya sangat menyakitkan dan memukulku. Seharusnya aku tidak usah bersedih, karena ini adalah resiko yang harus aku terima. Aku pun menceritakan hal ini pada orang tuaku. Dan ibuku berpendapat bahwa aku tidak usah meneruskan hubunganku dengan Parisa lagi, karena akan menyakiti kedua belah pihak.
Tak pernah terpikirkan olehku bahwa masalah yang aku hadapi akan seberat ini. Keesokannya, kami berdua bertemu dan Parisa menangis dihadapanku bahwa ia tetap ingin menikah denganku. Lalu aku mencoba sekali lagi untuk berbicara baik-baik dengan orang tuanya, tapi ternyata tetap tidak berhasil. Ayahnya menamparku dan memintaku untuk menjauhi Parisa.
Apa aku salah bila aku mencintainya? Apa aku salah karena yang mencintainya ini adalah seorang albino?
Seminggu sudah berlalu. Aku hampir terkena penyakit typus karena telat makan dan jarang tidur. Bagaimana aku bisa makan dengan lahap dan tidur dengan nyenyak, sementara kekasihku sama sekali tidak memberiku kabar. Dikampus pun aku tidak bertemu dengannya. Malah aku dengar dari sahabatnya bahwa Parisa sudah pindah kampus. Ia sudah tidak berkuliah lagi di kampus ini. Sungguh pikiranku tidak bisa tenang. Handphonenya pun tidak pernah aktif. Apa gerangan yang terjadi padanya?
Tak lelah ku berdoa, memohon dan berharap agar Parisa baik-baik saja. Setiap hari, aku dihadapkan pada kegelisahan yang entah sampai kapan akan berhenti merasakannya. Ketakutan akan sesuatu yang menimpa dirinya.
Suatu hari, tak kuduga Parisa mengirim email kepadaku. Singkatnya, isinya adalah bahwa ia akan dipindahkan keluar kota untuk meneruskan kuliahnya disana. Dan orang tuanya tidak mengjinkannya memegang HP atau pun alat komunikasi lainnya, dan juga tidak ada lagi internet dirumahnya untuk berkomunikasi dengan siapa pun. Dan mungkin ini adalah terakhir kalinya ia menghubungiku. Sungguh tak kuduga orang tuanya sangat kejam sekali.
Aku pun meminta tolong kepada ayahku untuk membantuku. Ayahku mencoba menelepon orangtua Parisa untuk berbicara baik-baik dengan mereka. Tapi tetap saja tidak berhasil. Orang tua Parisa tetap tidak akan menyetujui hubunganku dengan anaknya. Orang tuaku tentu sangat kecewa dengan sikap kasar yang diberikan mereka terhadap kami. Ya…ibuku hanya bisa memberiku semangat dan mencoba untuk terus bersabar karena apa yang aku bisa sudah kulakukan, dan hasilnya adalah nol besar. Aku hanya bisa terdiam di ruang pribadiku dengan menatap lukisan kekasihku yang menyedihkan.
Aku tidak boleh egois, memaksakan diriku menemui orang tuanya lagi untuk meminta restu. Apabila aku melakukan hal tersebut tentu Parisalah yang akan lebih menderita. Ya…mungkin aku dan dia memang tidak dapat bersatu.
Sebulan kemudian aku dirawat dirumah sakit karena penyakit typusku bertambah parah. Aku tidak peduli dengan kondisiku sekarang, yang aku pedulikan hanyalah Parisa. Bagaimana keadaanya sekarang? Apakah bertambah baik atau buruk?
Tak pernah kuduga sebelumnya. Saat malam tiba, tepatnya pukul sepuluh malam, dan dibawah hujan deras, seorang wanita yang begitu kukenal masuk kekamarku dengan tergesa-gesa. Dengan menangis, wanita itu langsung memelukku dan menciumiku. Parisa, ia datang menemuiku. Ia menceritakan semua masalah yang dihadapinya.
“Bagaimana kau bisa kesini?”
“Aku minta ijin kemamahku untuk pergi ke supermarket. Lalu mamahku mengantarku ke supermarket didekat rumah, dan sesampainya disana aku melarikan diri untuk menemuimu. Sahabatku yang memberitahuku bahwa kau dirawat dirumah sakit ini.” Jelasnya
Kami berdua pun membicarakan semua masalah yang kami hadapi masing-masing, dan kami pun membicarakan bagaimana jalan keluar yang terbaik. Parisa tak henti-hentinya mengeluarkan airmata dan ia tetap tidak ingin berpisah dariku. Aku sangat bahagia sekali, karena ada seorang wanita yang begitu sangat mencintaiku. Aku bisa lihat dari sinar matanya, bahwa begitu besar cintanya untukku.Ya…hanya untukku.
“Paris, sedetik bersamamu adalah hal terbesar dan terpenting bagiku. Cinta dan sayangmu yang setulus hati kau berikan untukku adalah suatu hal dan anugrah terindah dari Tuhan untukku. Aku pun sama sepertimu, tidak bisa jauh darimu apalagi berpisah denganmu, aku tidak bisa dan membayangkannya pun aku tidak mau. Tapi aku merasa sedih, kecewa, sakit hati, apabila melihat, mendengar wanita yang begitu kucintai tercabik-cabik hatinya karena aku. Aku….”
“Aldi, aku mohon bawa aku pergi dari sini. Bawa aku kemana pun kamu mau. Aku hanya ingin menikah dan hidup bersamamu bukan dengan laki-laki lain.”
“Aku mengerti Paris. Tapi….aku tidak bisa melakukan hal tersebut. Aku pikir, aku tidak bisa berbuat egois untuk terus memperjuangkan cintaku. Sementara hidup kekasihku diambang kehancuran. Kau selamanya akan merasa tertekan, terpojok, walau pun kau hidup bersamaku. Paris, aku rela bila tak harus hidup bersamamu, karena ini adalah jalan yang terbaik bagi kita. Tapi harus kau ingat seumur hidupmu, bahwa aku akan terus akan mencintaimu seumur hidupku, dan tak akan ada satu wanita pun yang bisa menggantikanmu dihatiku.”
“Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu Aldi, aku tidak bisa!” Lalu Parisa pun menangis dengan menggenggam erat tangan Aldi
“Paris, memang hubungan kita tidak direstui. Tapi cintaku padamu akan kekal untuk selamanya. Kau tidak bisa melawan seribu orang hanya untuk mempertahankan satu orang, kau pasti akan kalah.”
“Tapi mengapa cinta kita tidak bisa bersatu? Mengapa?!”
Aldi pun lalu mengusap-ngusap kepala kekasihnya, dan menatap wajahnya yang basah karena air matanya. Dilihatnya pipi kiri Parisa lebam, seperti bekas pukulan.
“Pipimu kenapa?”
Parisa terdiam sejenak. “Pa…pah memukulku, karena aku terus memohon kepadanya untuk bertemu denganmu.”
“Paris, maafkan aku karena telah membuatmu tersiksa. Seperti yang pernah kau katakan, apa yang tidak mungkin bisa saja menjadi mungkin. Mungkin sekarang kita tidak bisa bersama, tapi siapa sangka beberapa tahun kemudian kita akan kembali bersama. Kau harus mencoba untuk menerima semua ini dengan ikhlas. Mungkin memang lebih baik kau tidak bersamaku. Kau harus tegar dan terus bersemangat, dan kau harus belajar untuk bisa jauh dariku. Pergilah keorangtuamu, kau akan jauh lebih bahagia tinggal bersama mereka dari pada denganku. Aku ikhlas dan rela untuk melepaskanmu demi kebahagiaanmu.
Bukan berarti aku tidak cinta dan sayang padamu, tapi ini adalah jalan terbaik untuk kita berdua. Jangan melakukan hal yang bodoh. Bila kau melakukan bunuh diri, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Dan ingat, cintaku hanya untukmu dan tidak akan pernah kurang sedikit pun.”
Parisa pun menangis tersedu-sedu dipelukan kekasihnya. Mereka berdua melewati malam yang begitu menyedihkan dibawah derasnya hujan, dan malam itu adalah malam terakhir bagi mereka berdua.

Tiga minggu kemudian.
Kondisiku sudah stabil tapi perasaanku sama sekali tidak. Pukul sepuluh pagi, seseorang mengantarkan sebuah surat kepadaku, dan betapa hancurnya perasaanku saat ku melihat bahwa surat itu adalah surat undangan pernikahan. Dalam waktu dekat ini, Parisa akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Aku yakin, Parisa tidak akan mencintai laki-laki lain selain diriku.
Tak lama kemudian, waktu pernikahan pun tiba. Aku sudah menetapkan hatiku untuk tidak datang ke acara pernikahannya. Hari ini adalah hari kehancuran bagiku. Bagiku tak ada matahari yang dapat menyinari hatiku pada siang hari, dan tak ada lagi bulan yang dapat menyinari hatiku pada malam hari dengan senyumannya. Sang dewi telah pergi meninggalkanku dan takkan pernah kembali kepelukkanku untuk selamanya.
Satu bulan kemudian aku keluar dari jurusan kedokteran. Lalu aku mengambil jurusan psikologi, karena aku merasa nyaman berada dijurusan tersebut, karena tak lain aku tak mau melihat wajah menderita saat mereka berharap besar bahwa aku bisa menyembuhkan mereka. Aku lebih senang memberikan semangat kepada orang-orang, khususnya mereka yang sepertiku.
Lima tahun kemudian
Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabar Parisa. Entah bagaimana keadaannya sekarang, dan aku pun tidak tahu ia sekarang berada dimana. Kini aku telah menjadi orang yang sukses. Aku berhasil menjadi seorang psikolog seperti yang aku harapkan, dan aku pun kini menjadi seorang pelukis yang terkenal. Bukan hanya terkenal dinegaraku saja, karya lukisanku sudah menembus pasar internasional dengan mendapatkan banyak penghargaan dari dalam negeri maupun luar negeri. Apabila Parisa mengetahui hal ini pasti ia sangat senang sekali.
Tiba-tiba suatu hari datang kerumahku seorang wanita yang pernah ku kenal. Ia adalah sahabat baik Parisa. Ia menemuiku dengan wajah yang tidak bahagia. Setelah kita saling menyapa, ia memintaku untuk mendengarkan baik-baik mengenai apa yang akan ia katakan padaku. Perasaanku yang telah hancur kini bertambah hancur. Sang dewi yang begitu kupuja kini benar-benar telah meninggalkanku. Tak terasa, air mataku mengalir begitu cepat. Ia menyampaikan bahwa Parisa telah meninggal dunia saat melahirkan anak pertamanya dua bulan yang lalu.
“Aldi, aku telah mencoba menghubungimu berkali-kali tapi sepertinya kau sangat sibuk sekali dengan pekerjaanmu sehingga sangat sulit bagiku untuk menghubungimu.” Jelas wanita tersebut
Selesai berberbicara, wanita itu memberiku sebuah foto. Foto jenazah Parisa sebelum dimakamkan. Tak ada kata-kata yang bisa kukeluarkan dari mulutku. Ku hanya memandangi foto kekasihku yang malang yang telah berada disurga. Mulai hari ini dan seterusnya kegelapan akan menyelimuti kehidupanku. Harapanku, cinta dan sayangku telah musnah. Karena sang dewi yang selalu memberiku semangat telah tiada. Dan kini aku hanya bisa merasakan kehadirannya disaat aku melukis dirinya. Ya….aku akan menghabiskan seumur hidupku hanya untuk melukis. Hanya melukis…..

Aldi Elger menghabiskan seluruh waktunya hanya dengan melukis. Melukis kekasihnya yang telah lebih dulu meninggalkannya.

Tidak ada komentar: